KISAH PENDERITA KANKER TULANG YANG MEMPERSIAPKAN SANG MAUT MENJEMPUTNYA..
SEMOGA ADA IBRAH YANG BISA KITA PETIK..
Hari-hari berlalu dilewati seakan sudah bertahun lamanya, namun sebenarnya baru beberapa minggu lalu. Ya, hanya beberapa minggu lalu. Berita itu aku sambut dengan hati yang kuusahakan untuk berlapang dada.
Benar, aku berusaha berlapang dada. Terkadang, terasa nusrah iIlahi begitu hampir saat kita benar-benar berada di tepi tebing, menunggu saat untuk menghujan jatuh ke dalam gaung. Maha Suci Allah yang mengangkat aku, meletakkan aku kembali di jalan tarbiyyah dan terus memimpin untukku melangkah dengan tabah.
Aku hanya seorang Muslimin biasa. Tiada kelebihan yang teristimewa, tidak juga punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku dgn dua kaki, melihatku juga menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini. Aku tidak buta, tidak juga tuli mahupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah juga aku bisa bercakap dengan lidahku yang lembut tidak bertulang. Sama seperti manusia lain.
Aku tidak seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, aku juga tidak sehebat Saidina Umar al-Khattab dalam berbakti, aku tidak seperti Saidina Uthman bin Affan, tidak juga seperti Saidina Ali
Keempat-empat ini merupakan sahabat-sahabat nabi yang begitu kuat dalam setiap langkah perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang muslimin yang sedang mengembara di bumi Tuhan, jalanku kelak juga sama... Negeri Barzakh, insya Allah. Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam perkara ini.
Sejak hari istimewa tersebut, ramai sahabat yang memuji wajahku berseri dan mereka yakin benar aku sudah mengkhitbah seseorang yang begitu istimewa seolah mendengar khabar angin bahwa aku sudah bertunangan.
Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu persoalan yang makin banyak, tetapi diamku kerana aku belum mampu memperkenalkan insan itu. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian.
Ibu bertanya persoalan yang sewajarnya aku jawab dengan penuh tatasusila.
"Hari menikah nanti akan pakai baju warna apa?"
Aku menjawab tenang.. "Warna putih, bersih..."
"Alhamdulillah, ibu akan usahakan dalam tempoh terdekat."
"Ibu, 4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah dan sorban. Jangan berlebihan."
Ibu mengangguk perlahan.
Beberapa hari ini, aku mempelajari satu persatu... helaian demi helaian naskah yang begitu menyentuh sanubariku sebagai hamba Allah.
Malam Pertama... Sukar sekali aku ungkapkan perasaan yang bersarang, rasanya ingin aku menangis sekerasnya tetapi sudah aku ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan tarikhnya kerana aku akan sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.
Sejak hari pertunangan itu, aku semakin banyak mengulang al-Quran. Aku mau sebelum tibanya hari yang aku nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam tubuh. Mudah-mudahan aku tenang... As-Syifa' aku adalah al-Quran, yang setia menemani dalam resah aku menanti. Benar, aku sedang memupuk gelora hati. Rasanya mau pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang yang mendahului.
"ya syeikh sahabatku,apakah Akhi bertunangan? Pasti hebat muslimah itu sampai akhi terpikat. cantik kah?"
Aku tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku masih mau merahasiakan tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahwa aku sudah bertunangan, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.
"Insya Allah, 'dia' tiada rupa tetapi sangat mendekatkan ana dengan Allah. Itu yang paling utama."
Jawabanku tsb membuat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata mereka, aku sembunyikan sesuatu yang perlu diberitahukan kpd mrk. Aku tersenyum lagi.
"Jangan lupa undang saya di hari menikahnya, jangan lupa!"
Aku hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku zahirkan ialah senyuman dan terus tersenyum.
Mereka menyangka aku sedang berbahagia apabila sudah betunangkan dengan 'dia' yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabat juga merasa kehilanganku karena setiap waktu luangku dihabiskan masa dengan as-Syifa' ku al-Quran, tidak lain kerana aku mau kalamullah meresap dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku menanti hari itu.
"Kapan Akhi menikah?"
Aku tidak memberi jawaban khusus.
"Insya Allah, apabila tiba waktunya nanti akan kuberitahu..."
Aku masih menyimpan tanggal keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku sendiri tidak tahu bila tanggalnya.
"Undang saya ya?!" sahabatku tersenyum puas.
"Kalau dirimu tak datang pun saya tak berkecil hati, doakan saya sebanyak-banyak!" Itu saja pesanku.
Aku juga tidak tahu di mana mau melangsungkan pernikahanku, aduh semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai insan berkecil hati.
"Insya Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."
Rahasiaku adalah rahasia Allah, kerana itu aku tidak mampu memberikan tanggalnya. Cuma aku ingin menyiapkan diri sebaiknya. Untung aku sudah melamar dan bertunangan dahulu tanpa menikah tidak seperti orang lain. Semuanya aku siapkan, baju menikahnya, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...
"Janngan berlebihan ya..."
Ibu angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.
"Ya syeikh, ayo makan!"
Aku tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.
"Tafaddal, saya puasa."
Sahabat juga semakin rajin mengusik.
"Wah, sahabat kita diet ya. Maklumlah hari bahagia sudah dekat...Tanggalnya belum pastikah?
"Bukan diet, tapi saya mau mengosongkan perut. Maaf, tanggalnya belum ditetapkan lagi."
Hingga kini, aku tidak tahu bila tanggalnya yang pasti. Maafkan aku sahabat, bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu sahaja.
.......................................
"innalillahi wainna ilaihi rajiun..."
"Tenangnya... Subhanallah. Allahuakbar."
"Ya Allah, tenangnya..."
"Moga Allah memberkatinya...."
Allah, itu suara sahabat-sahabat ku, teman-teman seperjuangan aku pada ibu.
Akhirnya, aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. Sahabat ramai yang datang di majlis walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri.
Akhirnya, mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.Akhirnya, mereka kenali sosok 'dia' yang aku rahsiakan dari pengetahuan umum.Akhirnya, mereka sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang aku telah dikhitbahkan oleh Allah..
Dalam sedar tidak sedar...
Hampir setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan ku... Sentiasa ada suara sayu yang menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras, hanya Tuhan yang tahu.
"Ya Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan dengan Engkau. Yang menyadarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menyadarkan aku tentang dunia sementara, yang menyadarkan aku tentang alam akhirat. Engkau satukan kami dalam majlis yang Engkau ridhai, aku hamba Mu yang tak punya apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui..."
Akhirnya, sahabatku bertanya kepada ibu beberapa minggu kemudian...
"anak Ibu bertunangan dengan siapa?"
Ibu tenang menjawab... "Dengan kematian wahai anakku. Kanker tulang yang mulanya hanya pada tulang belakang sudah merebak dengan cepat pada tangan, kaki juga otaknya. Kata dokter, Adam hanya punya beberapa minggu saja sebelum kankernya membunuh."
"Allahuakbar..." Terduduk sahabat-sahabatku mendengar, air matanya tak mampu ditahan.
"Buku yang sering dibacanya itu, malam pertama..."
Ibu mengangguk, tersenyum lembut... "Ini nak, bukunya." Senaskah buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni tertera tajuk'Malam Pertama di Alam Kubur'.
"Ya Allah, patutlah dia selalu menangis... saya tak tahu Bu."
"Dan sejak dari hari 'khitbah' tersebut, selalu dia mau berpuasa. Katanya mahu mengosongkan perut, mudah untuk dimandikan..."
sahabat-sahabat masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Matanya basah menatap kalam dari diariku yang diberikan oleh ibu.
" satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti tanggalnya dengan mendekatkan diriku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya, karena ibuku bernama Ummu Sulaim, baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH meminta. Dan ibu mengambil 'ibrah bukan dari namanya (Ummu Sulaim) tapi akhlaqnya. Ummu Sulaim, seteguh dan setabah hati seorang ibu."
----------====---------------------
Ada banyak input yang dapat kita ambil dari sini. Semoga kisah ini dapat memberi kita manfaat! InsyaAllah. :)
ayumuslimah
Prince of Wales Hospital
Hongkong,18Nov 2010 (03.45)
0 komentar:
Posting Komentar